BAB IVTAREKAT PYTHAGORAS
Penting untuk terlebih dahulu diingat bahwa kaum Pythagorean bukan sekedar merupakan kerumunan pengikut Pythagoras yang sedikit banyak lepas dan terpisah satu sama lain: mereka adalah anggota suatu tarekat keagamaan yang didirikan Pythagoras dari Samos (salah satu Kota di Ionia—Pen.).
Tarekat ini muncul di Kroton, Italia Selatan pada paruh kedua abad keenam sebelum Isa. Pythagoras sendiri adalah orang Ionia, dan para anggota pertama dari Mazhab ini berbicara dengan dialek Ionia.
Asal mula Tarekat Pythagorean, seperti halnya kehidupan pendirinya, diselubungi ketidakjelasan. Iamblikhos, dalam risalahnya tentang kehidupan Pythagoras, menyebutnya “pemimpin dan bapak filsafat ketuhanan,” “dewa, ‘gandarwa’ (maksudnya manusia super), atau manusia-ketuhanan.” Tetapi Kehidupan Pythagoras versi Iamblikhos, Porphyry dan Diogenes
Laërtios sulit dikatakan memberi kesaksian yang bisa dipercaya, dan tidak ragu lagi cerita itu bisa disebut sebagai roman. Mendirikan suatu mazhab barangkali bukan hal baru di dunia Yunani. Meskupun tidak bisa dibuktikan secara pasti, sangat bisa jadi para filsuf pertama Miletos memiliki kesamaan dengan Mazhab-mazhab di sekitarnya. Namun Mazhab Pythagorean memiliki karakteristik berbeda, yakni karakter asketis dan religiusnya. Menjelang berakhirnya peradaban Ionia, terjadi kebangkitan agama yang berupaya memuat unsur-unsur religi sejati yang tidak dimiliki oleh mitologi Olympian maupun kosmologi Miletian. Seperti halnya dalam Kekaisaran Romawi, sebuah masyarakat yang tengah berada di ambang keruntuhan yang kesegaran dan kekuatan aslinya mulai hilang, kita melihat gerak ke arah skeptisisme di satu sisi dan ke arah “agama-agama misteri” di sisi lain, maka pada penghujung peradaban kosmopolit Ionia kita juga mendapati kecenderungan serupa. Mazhab Pythagorean merepresentasikan semangat kebangkitan beragama yang dihubungkan dengan semangat ilmiah yang sangat jelas, dan hal terakhir inilah faktor yang mengesahkan dimasukkannya kaum Pythagorean dalam sejarah filsafat. Sudah pasti ada kesamaan landasan (common ground) antara Orfisisme dan Pythagoreanisme, meski sama sekali tidak mudah menentukan hubungan pasti satu sama lain, serta besarnya pengaruh yang ditimbulkan sekte Orfis terhadap kaum Pythagorean. Di dalam Orfisisme, kita tentu menemukan satu organisasi dalam komunitas-komunitas yang terikat oleh masa percobaan dan ketaatan terhadap cara hidup bersama, juga ajaran mengenai perpindahan jiwa—yang sangat menyolok dalam ajaran Pithagorean—dan dengan begitu memang sulit untuk berkesimpulan bahwa Pythagoras tidak terpengaruh oleh kepercayaan dan praktik keagamaan kaum Orfis. Meskipun demikian, Pythagoras mestinya lebih banyak dikaitkan dengan Delos daripada dengan religi Dionysos orang Thrakea.
Pandangan yang lazim dianut ialah bahwa komunitas-komunitas Pythagorean merupakan komunitas politik, nanun ini adalah pendapat yang lemah, setidaknya dalam pengertian bahwa pada dasarnya mereka merupakan komunitas politik—yang tentu saja keliru. Memang benar Pythagoras pergi meninggalkan Kroton ke Metaporum atas anjuran Cylon; namun agaknya ini bisa dijelaskan tanpa harus menganggapnya sebagai aktivitas politik yang secara khusus dilakukan Pythagoras karena menyetujui pihak tertentu. Tetapi Kaum Pythagorean memang mendapat pengawasan politis di Kroton dan kota-kota lain di Yunani Raya, dan Polybios mengabarkan bahwa “pondok-pondok” mereka dibakar, sedang mereka sendiri kemudian menjalani penyiksaan—kemungkinan terjadi tahun 440-430 SM, meskipun fakta ini tidak lantas berarti bahwa mereka pada dasarnya lebih merupakan kelompok politik daripada kelompok keagamaan. Adapun Calvin yang memerintah di Jenewa, pada dasarnya ia bukan seorang politikus. Profesor Stace menyatakan, “Ketika orang awam Crotona tidak diperbolehkan makan kacang, dan dalam keadaan apa pun tidak boleh makan daging anjingnya sendiri, maka ini sudah keterlaluan.” (meski sesungguhnya tidak pasti apakah Pythagoras melarang kacang atau semua daging hewan sebagai bahan makanan. Sedang Aristoxenos menyatakan yang sebaliknya menyangkut kacang. Meski demikian, Burnet, yang cenderung menerima pantangan itu sebagai khas Pythagorean, mengakui kemungkinan pendapat Aristoxenos mengenai tabu kacang itu benar). Setelah beberapa tahun, Tarekat itu bangkit kembali dan melanjutkan aktivitasnya di Italia, khususnya di Tarentum, yang di sana pada paruh pertama abad keempat SM Arkhytas memperoleh reputasinya. Phylilaos dan Eurytos juga bekerja di kota itu.
Mengenai ide-ide dan praktik keagamaan asketis Pythagorean, hal ini berpusat di sekitar gagasan mengenai kesucian dan penyucian, ajaran tentang perpindahan ruh yang sebetulnya mengarah ke pegenalan budaya-jiwa. Praktik berdiam diri, pengaruh musik dan pengkajian matematika, semuanya dipandang sebagai hal yang sangat berguna dalam merawat jiwa. Yet some of their practices were of a purely external character. Kalau Pythagoras benar-benar melarang makan daging hewan, maka hal ini barangkali disebabkan oleh, atau paling tidak ada kaitannya dengan, ajarang mengenai metempsikosis; namun aturan-aturan yang murni eksternal seperti itu sebagaimana dikutip Diogenes Laërtios sebagai yang telah dijalankan oleh Mazhab itu, dipandang dari segi apa pun bisa disebut ajaran filosofis. Misalnya, menghindari kacang, tidak menggunakan jalan-jalan utama, tidak menginjak potongan kuku, menghapus bekas a pot in the ashes, tidak menduduki bushel, dll. Dan kalau ini merupakan soal yang terdapat dalam ajaran Pythagorean, maka hal ini barangkali lebih tepat merupakan wilayah kajian yang menarik bagi pakar sejarah agama, namun hampir tidak akan mendapatkan perhatian serius dari pakar sejarah filsafat. Akan tetapi, aturan-aturan eksternal yang dipatuhi ini tentu saja tidak mencakup segala yang ditawarkan Pythagorean.
Dalam membahas secara jelas teori-teori Kaum Pythagorean, kita tidak dapat memastikan berapa banyak yang dari Pythagoras sendiri dan berapa banyak yang berasal dari murid-muridnya dalam Mazhab tersebut, misalnya, Philolaos. Dan Aristoteles dalam Metaphysics lebih banyak berbicara mengenai Kaum Pythagorean daripada Pythagoras sendiri. Sehingga penggalan, “Pythagoras beranggapan …,” tidak serta-merta merujuk kepada pendiri Mazhab itu secara pribadi.)
Dalam menceritakan kehidupan Pythagoras, Diogenes Laërtios menceritakan sebuah puisi Xenophanes, yang berisi suatu kejadian di mana Pythagoras melihat seseorang memukul anjing sontak menyuruh orang tersebut menghentikan perbuatannya karena ia mendengar suara temannya dalam jeritan anjing itu. Entah cerita ini benar atau salah, anggapan bahwa ajaran metempsikosis berasal dari Pythagoras barangkali dapat diterima. Kebangkitan beragama telah menghadirkan kembali gagasan mengenai kekuatan jiwa dan akan terus ada setelah kematian—yang sangat kontras dengan konsepsi Homeros mengenai bayang-bayang berceracau dari orang yang telah meninggal. Dalam ajaran demikian, seperti ajaran mengenai perpindahan jiwa, kesadaran identitas pribadi, kesadaran-diri, tidak terkandung dalam pikiran atau tidak dianggap terikat dengan jiwa, sebab kata Dr Julius Stenzel: “… die Seele wandert von Ichzustand zu Ichzustand, oder, was dasselbe ist, von Leib zu Leib; denn die Einsicht, das zum Ich der Leib gehort, war dem philosophischen Instinkt der Griechen immer selbstverstänlich.” Teori mengenai jiwa sebagai harmoni tubuh, yang dikemukakan oleh Simmias dalam Phaedo-nya Plato dan diserangnya, hampir tidak sesuai dengan pandangan Pythagorean mengenai jiwa yang tidak dapat mati dan mengalami perpindahan; sehingga anggapan bahwa pandangan ini berasal dari Kaum Pythagorean (Makrobios dengan jelas mengacu kepada Pythagoras dan Philolaos) setidaknya bisa dikatakan meragukan. Meski demikian, seagaimana dinyatakan Dr Praechter, tidak berada di luar persoalan (out of question) bila pernyataan bahwa jiwa merupakan harmoni tubuh, atau tout simple sebuah harmoni, bisa diartikan bahwa ini merupakan prinsip keteraturan dan kehidupan dalam tubuh. Ini tidak lantas mengesampingkan sifat jiwa yang tidak dapat mati.
(Kemiripan dalam beberapa hal penting antara Orfisisme dan Pythagorea-nisme barangkali disebabkan oleh pengaruh Orfisisme atas Pythagoreanisme; namun sangat sulit menentukan apakah sebetulnya memang ada pengaruh langsung, dan kalau ya, seberapa jauhkah pengaruh itu. Orfisisme berkaitan dengan pemujaan Dionysus, sebuah pemujaan yang masuk ke Yunani dari Thrakea atau Skythia, dan aneh bagi semangat pemujaan Olympian, meskipun karakter “antusias” dan “ekstase” bergema dalam jiwa orang Yunani. Tapi bukan karakter “antusias” agama Dionysian yang menghubungkan Orfisisme dengan Pythagoreanisme; melainkan lebih karena fakta bahwa kepada calon-calon anggota baru Orfis, yang, be it noted, terorganisir di masyarakat, diberikan ajaran tentang perpindahan jiwa, dan bukan tentang tubuh yang membelenggu [jiwa], yang merupakan bagian penting manusia; padahal, jiwa adalah manusia yang sesungguhnya, dan bukan semata-mata bayang-bayang citraan tubuh, sebagaimana ditunjukkan Homeros. Karena itulah olah-jiwa dan penyucian-jiwa, yang meliputi kepatuhan terhadap ajaran seperti pantangan makan daging hewan menjadi sangat penting. Orfisisme sebetulnya lebih merupakan agama daripada filsafat—meskipun cenderung ke arah Panteisme, sebagaimana terlihat dari fragmen terkenal AKSARA YUNANI; tetapi, selama disebut sebagai filsafat, ia merupakan suatu way of life dan bukan semata-mata spekulasi kosmologis, dan dalam hal ini Pythagoreanisme tentu saja merupakan pewaris semangat Orfis.)
Beralih sekarang pada persoalan pelik mengenai filsafat Pythagorean yang bersifat matematiko-metafisis. Aristoteles memberitahukan dalam Metaphysics bahwa “Kaum Pythagorean, sebagaimana mereka disebut, mencurahkan hidupnya untuk matematika, mereka adalah orang-orang pertama yang maju dalam kajian ini, dan setelah menekuni bidang ini, mereka berpikir bahwa prinsip-prinsip matematika merupakan prinsip segala sesuatu …” Mereka memiliki antusias sebagai murid-murid terdepan dalam ilmu pengetahuan yang maju, dan mereka terhenyak oleh pentingnya kedudukan bilangan di dunia. Segala sesuatu berbilang (numerable), dan kita dapat menyatakan banyak hal dengan angka. Demikian relasi antara dua hal yang berkaitan bisa dinyatakan menurut proporsi numerik: susunan antara satu angka dari subjek yang tersusun bisa dinyatakan dengan angka (numerical), dan sebagainya. Namun yang agaknya telah mengejutkan mereka adalah penemuan bahwa interval-interval musik antarnada pada alat musik lyre bisa dinyatakan dengan angka. Tangga nada barangkali bisa dikatakan tergantung pada angka, selama ia ditentukan oleh panjangnya, dan interval-interval dalam skala itu bisa dinyatakan dengan rasio numerik. Sebagaiamana harmoni musik ditentukan oleh angka, maka terpikir juga bahwa harmoni alam semesta juga tergantung pada angka. Kosmolog-kosmolog Miletos berbicara mengenai pertentangan antara anasir-anasir yang berlawanan di alam, dan penyelidikan musik Pythagorean mudahnya barangkali memberikan inspirasi penyelesaian terhadap persoalan “pertentangan” tersebut melalui konsep angka. Aristoteles mengatakan, “karena mereka melihat bahwa atribut dan rasio skala musik dapat dinyatakan dengan angka; maka sejak itu agaknya segala sesuatu dalam keseluruhan alam menurut mereka dipandang mengikuti angka-angka, dan angka nampak merupakan hal pertama di alam, dan seluruh langit merupakan skala musikal dan angka.”
Pada titik ini, Anaximandros berpandangan bahwa segala sesuatu berasal dari Yang Tak Terbatas, sedang Pythagoras menggabungkan gagasan Yang Tak Terbatas ini dengan gagasan Yang Berbatas, atau AKSARA YUNANI, yang memberi bentuk kepada Yang Tak Terbatas itu. Hal ini ditunjukkan dalam musik (juga dalam kesehatan, di mana yang terbatas adalah “penyetelan (tempering)” yang menghasilkan harmoni, yaitu kesehatan), di mana proporsi dan harmoni secara aritmatika bisa dinyatakan. Dengan menarik pengertian ini lebih luas ke tataran dunia, Pythagorean berbicara mengenai harmoni dalam kosmos. Namun, tidak cukup hanya menekankan peran penting yang dimainkan angka di (d)alam semesta, mereka lebih jauh menyatakan bahwa segala sesuatu adalah angka-angka.
Jelas ini bukan ajaran yang mudah dipahami, dan bahwa segala sesuatu adalah angka merupakan pernyataan yang sulit. Apa yang dimaksudkan Pythagorean dengan hal ini? Pertama-tama, apa yang mereka maksudkan sebagai angka, atau apa pendapat mereka mengenai angka? Ini merupakan pertanyaan penting, sebab jawabannya akan menunjukkan alasan mengapa mereka menyatakan bahwa segala sesuatu merupakan angka. Aristoteles mengatakan bahwa (Kaum Pythagorean) beranggapan bahwa unsur bilangan adalah genap dan ganjil, dan bahwa yang genap adalah yang tak terbatas, sedang yang ganjil adalah yang terbatas; dan I mulai dari keduanya (sebab ia genap sekaligus ganjil), dan angka dimulai dari I; dan seluruh langit, sebagaimana dikatakan tadi, adalah angka-angka.” Kapan pun persinya periode perkembangan Kaum Pythagorean yang dirujuk oleh Aristoteles, dan apa pun persisnya interpretasi diberikan pada kata-katanya menyangkut yang genap dan yang ganjil, agaknya jelas bahwa Pythagorean menganggap angka secara spasial. Satu, dua, tiga, dan empat masing-masing adalah titik, garis, bidang (permukaan), dan bangun-ruang (tiga dimensi). Kemudian bahwa segala sesuatu adalah angka bisa diartikan bahwa “semua tubuh tersusun atas titik-titik atau satuan-satuan dalam ruang, yang bila menyatu akan membentuk satu angka.” Bahwa Kaum Pythagorean menganggap angka sebagai itu ditunjukkan oleh “tetrakit,” suatu gambar yang dianggap suci.
(GAMBAR SEGITIGA PYTHAGORAS, HLM. 34
Bentuk ini menunjukkan bahwa sepuluh merupakan hasil penjumlahan dari satu, dua, tiga, dan empat; dengan kata lain, dari keempat bilangan bulat pertama. Aristoteles mengatakan bahwa Eurytos selalu merepresentasikan bilangan dengan batu-batu koral, dan dengan cara demikianlah diperoleh angka “bujursangkar” dan “persegipanjang.” Kalau kita mulai dengan angka satu dan menambahkan bilangan ganjil secara berturut-turut dalam bentuk “gnomon,” akan diperoleh angka bujursangkar,
(GAMBAR RANGKAIAN TITIK-TITIK), sementara kalau kita mulai dengan angka dua lalu kita tambahkan bilangan genap, akan diperoleh angka persegipanjang. (GAMBAR TITIK-TITIK lagi, ya!.)
Dengan mengunakan angka-tergambar atau rangkaian angka dengan geometri ini, kita akan lebih mudah memahami bagimana Pythagorean menganggap segala sesuatu sebagai angka, dan tidak semata-mata bisa dihitung. Mereka mentransfer konsepsi matematisnya ke susunan realitas materi. Demikianlah, “dengan menjajarkan sejumlah titik maka sebuah garis terbentuk, tidak hanya dalam imajinasi ilmiah sang matematikawan, melainkan juga dalam realitas eksternal; dengan cara yang sama bidang (permukaan) dihasilkan dengan menjajarkan beberapa garis, dan akhirnya tubuh (bangun ruang) dengan kombinasi beberapa bidang. Karena itu titik, garis, dan bidang permukaan merupakan satuan riil yang membentuk semua tubuh di (d)alam semesta, dan dalam pengertian inilah segala tubuh mesti dianggap sebagai angka-angka. Tetapi, setiap tubuh materi merupakan ungkapan angka Empat (AKSARA YUNANI), sebab ia berasal, sebagai istilah keempat, dari tiga anasir penyusun (Titik, Garis, Permukaan).” Namun seberapa jauh identifikasi benda-benda dengan angka dianggap berasal dari kebiasaan menyatakan angka-angka dengan pola-pola geometri, dan seberapa jauh pengembangan ke segala realitas penemuan Pythagorean dalam hal musik, sangatlah sulit dikatakan. Burnet menduga identifikasi orisinal benda-benda disebabkan oleh perkembangan dari penemuan bahwa suara musik dapat direduksi menjadi angka-angka, dan bukan oleh identifikasi angka dengan bentuk-bentuk geometris. Namun, bila objek—sebagaimana oleh Kaum Pythagorean—dianggap sebagai kumpulan jumlah titik-titk materi, dan jika, pada saat yang sama, angka-angka secara geometris dianggap sebagai kumpulan titik-titik, maka menjadi mudahlah memahami bagaimana tahap selanjutnya, tahap identifikasi objek sebagai angka, dilakukan.
No comments:
Post a Comment